Persandingan UU PPN No. 8 Tahun 1983 dengan UU PPN No. 42 Tahun 2009


Pasal
UU PPN No. 8 Tahun 1983
Keterangan
UU PPN No. 42 Tahun 2009















1
































1 samb...

































1 samb...































1 samb...
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;
  2. Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
  3. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai hasil proses pengolahan (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini;
  4. Penyerahan Barang Kena Pajak :
1)
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a)
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b)
pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
c)
pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak;
d)
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
e)
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
f)
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
2)
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a)
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
b)
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan hutang-piutang;
c)
pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan.
  1. Jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai;
  2. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini;
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah kegiatan melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena Pajak yang dilakukan untuk kepentingan sendiri;
  4. Impor adalah semua kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean;
  5. Ekspor adalah semua kegiatan mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean;
  6. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;
  7. Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, atau melakukan usaha jasa;
  8. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini. Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan;
  9. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membotolkan, dan menambang atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan itu.Yang tidak termasuk dalam pengertian Menghasilkan ialah :
1)
menanam atau memetik hasil pertanian atau memelihara hewan;
2)
menangkap atau memelihara ikan;
3)
mengeringkan atau menggarami makanan;
4)
membungkus atau mengepak yang lazimnya terjadi dalam usaha perdagangan besar atau eceran;
5)
menyediakan makanan dan minuman di restoran, rumah penginapan, atau yang dilaksanakan oleh usaha katering.
  1. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terhutang;
  2. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini, potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, dan harga Barang yang dikembalikan;
  3. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
  4. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini;
  5. Pembeli adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak;
  6. Penerima Jasa adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak;
  7. Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat Impor Barang Kena Pajak;
  8. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang Kena Pajak;
  9. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.









Ketentuan Pasal 1 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) yaitu  huruf a sampai dengan huruf i, huruf k sampai dengan huruf p, huruf r sampai dengan huruf w, diubah, dan ditambah dengan huruf x, hingga perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga  berbunyi sebagai berikut
F
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
  2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
  3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
  5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
  6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
  8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
  10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
  12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
  13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
  17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
  18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
  21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
  22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
  23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
  25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
  26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
  27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
  28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
  29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.

















1A
























1A samb...
















Tidak ada
























Tidak ada











Pada perubahan kedua yaitu UU PPN No. 18 Tahun 2000, Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 di sisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 1A yang juga telah mengalami perubahan pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
  5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
  7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
  8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2)
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
  3. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
  4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.









2
(1) Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

(2) Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
  1. dua atau lebih pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau pengusaha pengusaha yang sama, atau
  2. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir.





Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a) dan b) diubah dan ketentuan huruf c) ditambah, sehingga Pasal 2 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut F
(1) Dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

(2) Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
a)       Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
b)       Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c)       Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat.









3
(1)
Pengusaha yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan d dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak di tempat Pengusaha itu bertempat tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Orang atau badan yang mengekspor barang dan/atau menyerahkan Barang Kena Pajak di Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak, dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak di tempat orang atau badan itu bertempat tinggal atau berkedudukan.
(3)
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan.
(4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyetor pajak yang terhutang dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.




Ketentuan Pasal 3 dihapus pada  perubahan pertama UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak berlaku lagi hingga sekarang.








Tidak ada








3A










3A samb...









Tidak ada










Tidak ada
Pada perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994,  ditambah ketentuan baru di antara Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu Pasal 3A dalam BAB IIA tentang Kewajiban Mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Kewajiban Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak yang Terhutang,  yang juga telah mengalami perubahan pada UU PPN No. 18 Tahun 2000 dan UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
(1a)
Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2)
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.














4
















4 samb...



(1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
  1. penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang :
1)
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
2)
mengimpor Barang Kena Pajak tersebut;
3)
mempunyai hubungan istimewa dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
4)
bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
5)
menjadi pemegang hak atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari Barang Kena Pajak tersebut;
  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2)
Dengan Peraturan Pemerintah :
  1. Pajak Pertambahan Nilai dapat diberlakukan terhadap semua penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean oleh pedagang besar atau pedagang eceran dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
  2. diatur penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.








Ketentuan Pasal 4 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga  berbunyi sebagai berikut F
(1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2)
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.













4A





















4A samb...













Tidak ada





















Tidak ada
a. Pada perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambah ketentuan baru diantara Pasal 4 dan Pasal 5 yang dijadikan
Pasal 4A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan Kewajiban Pencatatan; juga

b. Pada perubahan kedua yaitu UU PPN No. 18 Tahun 2000,  Ketentuan Pasal 4A diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3); dan

c. Pada perubahan ketiga  UU PPN No. 42 Tahun 2009, ketentuan Pasal 4A diubah kembali sehingga berbunyi  sebagai berikut F
(1)
Dihapus.
(2)
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3)
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
  1. jasa pelayanan kesehatan medik;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
  4. jasa keuangan;
  5. jasa asuransi;
  6. jasa keagamaan;
  7. jasa pendidikan;
  8. jasa kesenian dan hiburan;
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  11. jasa tenaga kerja;
  12. jasa perhotelan;
  13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  14. Jasa penyediaan tempat parkir;
  15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  17. Jasa boga atau katering







5


(1)
Disamping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap :
  1. penyerahan Barang Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Mewah di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
  2. impor Barang Mewah.
(2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.


Ketentuan Pasal 5 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga  berbunyi sebagai berikut F
(1)
Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
  2. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.



5A







5A samb...



Tidak ada








Tidak ada
Pada perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambah ketentuan baru di antara Pasal 5 dan Pasal 6 yang dijadikan
Pasal 5A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan Kewajiban Pencatatan, yang juga telah mengalami perubahan pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.







6

(1)
Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
(2)
Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa yang terhutang pajak, yang tidak terhutang pajak, yang dikenakan tarif 0% (nol persen), dan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)
Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat catatan nilai peredaran bruto secara teratur, yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai itu.



Ketentuan Pasal 6 dihapus pada  perubahan kedua UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 18 Tahun 2000 dan tidak berlaku lagi hingga sekarang.











Tidak ada




7





7 samb...


(1)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh persen).
(2)
Atas ekspor Barang dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
Ketentuan Pasal 7 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN. No 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga dimana ayat (2) dan ayat (3) diubah pada UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
  1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
  3. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3)
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.






8
(1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
(2)
Atas ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat diubah menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
(4)
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5)
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat (4) diatur oleh Menteri Keuangan.








Ketentuan Pasal 8 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN. No 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2)
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)
Ketentuan mengenai jenis Barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.




8A




Tidak ada
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009,  diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut F

(1)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
(2)
Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.






9




















9 samb...
































9 samb...
































9 samb...































9 samb...



























9 samb...

(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalihkan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.

(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa yang sama.

(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.

(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan-kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan dengan pajak terhutang dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat dikembalikan.

(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan kena pajak juga melakukan penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian penyerahan kena pajak itu dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang Kena Pajak yang diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai untuk menghasilkan Barang kena Pajak.

(6) Dalam hal bagian penyerahan kena pajak maupun bagian penyerahan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diketahui dengan pasti, Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu pedoman penghitungan jumlah Pajak  Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian penyerahan kena pajak.

(7) Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma perhitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar tehadap Pajak Keluaran yang harus dipungut, dengan mempergunakan pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(8) Pajak masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
  1. pembelian Barang atau Jasa sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak ;
  2. pembelian Barang dan pengeluaran biaya lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ;
  3. pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, stasion wagon, van, dan kombi.
Ketentuan Pasal 9 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) berupa:

a. ayat (1) dihapus.

b. Ayat (2), ayat (2a), ayat 3, ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah.

c. Diantara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b)

d. Diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f)

e. Diantara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b)

f. Diantara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b), sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut F
(1)
Dihapus.
(2)
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b)
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a)
Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimasud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
  6. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c)
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Perubahannya.
(4d)
Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e)
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(4f)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Perubahannya.
(5)
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6)
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a)
Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak Pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b)
Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7)
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a)
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b)
Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(8)
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  5. dihapus;
  6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  7. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
  8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  9. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
  10. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10)
Dihapus.
(11)
Dihapus.
(12)
Dihapus.
(13)
Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14)
Dalam hal terjadi penggalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai





10
(1)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau Impor Barang Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7.
(3)
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Mewah dapat meminta kembali pajak yang dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah yang diekspor itu.





Mengalami  perubahan hingga perubahan kedua (UU PPN No. 18 Tahun 2000) yaitu  ayat (1) dan ayat (3) diubah, maka hingga sekarang  ketentuan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut F
(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut.











11










(1)
Pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
(2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat pembayaran.


Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994):  ditambah dengan ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)

Perubahan kedua (UU PPN No. 18 Tahun 2000) :  ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus

Perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut F
(1)
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3)
dihapus.
(4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5)
dihapus.”





12








12 samb...
(1)
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, terhutang pajak di tempat tinggal atau kedudukan mereka dan/atau di tempat usaha dilakukan.
(2)
Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang.
(3)
Dalam hal Impor, pajak terhutang di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) :  ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah, dan ditambah dengan ayat (4)

Perubahan kedua (UU PPN No. 18 Tahun 2000) :  ayat (1) dan ayat (4) diubah

Perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut  F
(1)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3)
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.





















13

















13 samb...
(1)
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
(2)
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(3)
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
(4)
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
(5)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(6)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut undang-undang ini yang meliputi :
  1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak;
  3. Macam, jenis, kuantum, harga satuan, dan jumlah Harga Jual atau Penggantian;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. Tanggal penyerahan.
(7)
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
(8)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) :  ayat (1) sampai dengan ayat (7) diubah, dan ayat (8) dihapus

Perubahan kedua (UU PPN No. 18 Tahun 2000) :  ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah

Perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut  F
(1)
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
(2)
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(3)
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
(4)
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
(5)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(6)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut undang-undang ini yang meliputi :
  1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak;
  3. Macam, jenis, kuantum, harga satuan, dan jumlah Harga Jual atau Penggantian;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. Tanggal penyerahan.
(7)
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
(8)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.



14
(1)
Orang atau Badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2)
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak kepada Kas Negara dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Ketentuan Pasal 14 hanya mengalami perubahan pada UU No.11 Tahun 1994,  sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.






15
(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa.
(2)
Keterangan dan dokumen yang harus dicantumkan dan/atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa dianggap tidak dimasukkan jika Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan, atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).


Ketentuan Pasal 15 dihapus pada  perubahan pertama UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak berlaku lagi hingga sekarang






Tidak ada









15A




Tidak ada
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut F
(1)
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.





16


(1)
Atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak, kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), pengembaliannya dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2)
Kelebihan pembayaran pajak atas Barang yang diekspor dikembalikan dalam jangka waktu satu bulan.

Ketentuan Pasal 16 dihapus pada  perubahan pertama UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak berlaku lagi hingga sekarang





Tidak ada












16A







Tidak ada

Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994, diantara Pasal 16 dan Pasal 17 ditambahkan ketentuan baru yaitu Pasal 16A yang telah mengalami perubahan hingga pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut F



(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

(2) Tata cara pemungutan, penyetoran,dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
















16B












Tidak ada







Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994, diantara Pasal 16 dan Pasal 17 ditambahkan ketentuan baru yaitu Pasal 16B yang telah mengalami perubahan hingga pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut F
(1)
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
  1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3)
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.




16C




Tidak ada
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambahkan Pasal 16C yang juga telah mengalami perubahan sehingga berbunyi sebagai berikut F
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.







16D



















Tidak ada
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambahkan Pasal 16D yang telah mengalami perubahan sehingga berbunyi sebagai berikut F
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.











16E






















16E samb...











Tidak ada























Tidak ada









Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009,  diantara Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan Pasal 16 E yang berbunyi sebagai berikut F
(1)
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
  1. Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
  2. Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
  3. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3)
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4)
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah :
  1. Paspor;
  2. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
  3. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.



16F



Tidak ada
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009,  diantara Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan Pasal 16 F yang berbunyi sebagai berikut F


Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.




17

Hal-hal yang menyangkut pengertian, tata cara pemungutan sanksi administrasi dan sanksi pidana berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan Pasal 17 diubah pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994 sehingga berbunyi sebagai berikut F


Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.








18
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini:
  1. semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum undang-undang ini berlaku, tetap terhutang pajak menurut Undang-undang Pajak Penjualan 1951;
  2. selama peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak  bertentangan dengan undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku.

(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.






Tidak ada perubahan
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini :
  1. Semua penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum Undangundang ini berlaku, tetap terutang pajak menurut Undang-undang Pajak Penjualan 1951;
  2. Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku .

(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

19
Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Tidak ada perubahan
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

20
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Tidak ada perubahan
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.


21

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Terdapat perubahan berupa penghapusan 1 kalimat sehingga berbunyi sebagai berikut F


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.


Komentar

Postingan Populer