Pasal
|
UU PPN
No. 8 Tahun 1983
|
Keterangan
|
UU PPN
No. 42 Tahun 2009
|
1
1 samb...
1 samb...
1 samb...
|
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan :
- Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;
- Barang adalah barang berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang
tidak bergerak;
- Barang Kena Pajak adalah barang
sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai hasil proses pengolahan
(pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini;
- Penyerahan Barang Kena Pajak :
1)
|
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang
Kena Pajak adalah :
|
a)
|
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian;
|
b)
|
pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu
perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
|
c)
|
pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak;
|
d)
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang;
|
e)
|
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
|
f)
|
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan.
|
2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan
Barang Kena Pajak adalah :
|
a)
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
|
b)
|
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan
hutang-piutang;
|
c)
|
pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan.
|
- Jasa adalah semua kegiatan usaha dan
pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk
dipakai;
- Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana
dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
ini;
- Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
kegiatan melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena Pajak yang
dilakukan untuk kepentingan sendiri;
- Impor adalah semua kegiatan memasukkan
barang ke dalam Daerah Pabean;
- Ekspor adalah semua kegiatan
mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean;
- Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;
- Pengusaha adalah orang atau badan dalam
bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, atau melakukan usaha jasa;
- Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha
sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang ini. Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak
adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan;
- Menghasilkan adalah kegiatan mengolah
melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk
aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk
membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membotolkan, dan
menambang atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan
itu.Yang tidak termasuk dalam pengertian Menghasilkan ialah :
1)
|
menanam atau memetik hasil pertanian atau
memelihara hewan;
|
2)
|
menangkap atau memelihara ikan;
|
3)
|
mengeringkan atau menggarami makanan;
|
4)
|
membungkus atau mengepak yang lazimnya terjadi
dalam usaha perdagangan besar atau eceran;
|
5)
|
menyediakan makanan dan minuman di restoran, rumah
penginapan, atau yang dilaksanakan oleh usaha katering.
|
- Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh
penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terhutang;
- Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut
undang-undang ini, potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak,
dan harga Barang yang dikembalikan;
- Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi
Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut
undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak;
- Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini;
- Pembeli adalah orang atau badan yang
menerima penyerahan Barang Kena Pajak;
- Penerima Jasa adalah orang atau badan
yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak;
- Faktur Pajak adalah bukti pemungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
atau pada saat Impor Barang Kena Pajak;
- Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian Barang
Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang Kena Pajak;
- Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Masa Pajak adalah jangka waktu yang
lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
|
|
Ketentuan
Pasal 1 telah mengalami
perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) yaitu huruf a sampai dengan huruf i, huruf k
sampai dengan huruf p, huruf r sampai dengan huruf w, diubah, dan ditambah
dengan huruf x, hingga perubahan
ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga berbunyi sebagai berikut
F
|
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
- Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara
diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan.
- Barang adalah barang berwujud, yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
- Barang Kena Pajak adalah barang yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
- Penyerahan Barang Kena Pajak adalah
setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
- Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan
yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
- Jasa Kena Pajak adalah jasa yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
- Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
- Impor adalah setiap kegiatan memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
- Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa
mengubah bentuk atau sifatnya.
- Badan adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
- Pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
- Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
- Menghasilkan adalah kegiatan mengolah
melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk
aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan
mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
- Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
- Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
- Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha
karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
- Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut Undang-Undang ini.
- Pembeli adalah orang pribadi atau badan
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan
yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
- Penerima jasa adalah orang pribadi atau
badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak
dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena
Pajak tersebut.
- Faktur Pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
- Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau
impor Barang Kena Pajak.
- Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
- Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
- Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak
yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah,
badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
- Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
|
1A
1A
samb...
|
Tidak ada
Tidak ada
|
Pada
perubahan kedua yaitu UU PPN No. 18 Tahun 2000, Di antara Pasal 1 dan Pasal 2
di sisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 1A yang juga telah mengalami perubahan
pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut
F
|
(1)
|
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan
Barang Kena Pajak adalah:
- penyerahan hak atas Barang Kena Pajak
karena suatu perjanjian;
- pengalihan Barang Kena Pajak oleh
karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing);
- penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pedagang perantara atau melalui juru lelang;
- pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
- Barang Kena Pajak berupa persediaan
dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
- penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak
antar cabang;
- penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi; dan
- penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari
Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
|
(2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
- penyerahan Barang Kena Pajak kepada
makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
- penyerahan Barang Kena Pajak untuk
jaminan utang-piutang;
- Penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena
Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
- pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak;
dan
- Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
|
|
2
|
(1) Dalam hal
Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga
Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
(2) Hubungan
Istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
- dua atau lebih
pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau pengusaha
pengusaha yang sama, atau
- Pengusaha yang
satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha
yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih
yang disebut terakhir.
|
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a) dan b) diubah dan
ketentuan huruf c) ditambah, sehingga Pasal 2 seluruhnya menjadi berbunyi
sebagai berikut F
|
(1) Dalam hal
harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga
Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
(2) Hubungan
istimewa dianggap ada apabila :
a)
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau
tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha
lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan
antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
b)
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau
dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama
baik langsung maupun tidak langsung; atau
c)
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping
satu derajat.
|
3
|
(1)
|
Pengusaha yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(1) huruf a dan d dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada
Direktorat Jenderal Pajak di tempat Pengusaha itu bertempat tinggal atau
berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam jangka
waktu yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
|
(2)
|
Orang atau badan yang mengekspor barang dan/atau
menyerahkan Barang Kena Pajak di Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak,
dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak di tempat orang
atau badan itu bertempat tinggal atau berkedudukan.
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat
Keputusan Pengukuhan.
|
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyetor pajak yang
terhutang dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
Ketentuan
Pasal 3 dihapus pada perubahan pertama
UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak berlaku lagi
hingga sekarang.
|
Tidak ada
|
3A
3A
samb...
|
Tidak ada
Tidak ada
|
Pada
perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambah ketentuan baru di antara Pasal 3
dan Pasal 4 yaitu Pasal 3A dalam BAB IIA tentang Kewajiban Mempunyai Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Kewajiban Memungut, Menyetor, dan
Melaporkan Pajak yang Terhutang, yang juga telah mengalami perubahan pada UU
PPN No. 18 Tahun 2000 dan UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga berbunyi sebagai
berikut F
|
(1)
|
Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f,
huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
|
(1a)
|
Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
(2)
|
Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
4
4 samb...
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
|
- penyerahan Barang Kena Pajak yang
dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
oleh Pengusaha yang :
1)
|
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
|
2)
|
mengimpor Barang Kena Pajak tersebut;
|
3)
|
mempunyai hubungan istimewa dengan
Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
|
4)
|
bertindak sebagai penyalur utama atau
agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka
2);
|
5)
|
menjadi pemegang hak atau pemegang hak
menggunakan paten dan merek dagang dari Barang Kena Pajak tersebut;
|
- penyerahan Barang Kena Pajak kepada
Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak;
- impor Barang Kena Pajak;
- penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
(2)
|
Dengan Peraturan Pemerintah :
|
- Pajak Pertambahan Nilai dapat
diberlakukan terhadap semua penyerahan Barang Kena Pajak yang
dilakukan di Daerah Pabean oleh pedagang besar atau pedagang eceran
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
- diatur penyerahan jenis-jenis jasa
yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
Ketentuan
Pasal 4 telah mengalami
perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan
ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
- penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
- impor Barang Kena Pajak;
- penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak;
- ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
- ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan
jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
|
4A
4A
samb...
|
Tidak ada
Tidak ada
|
a. Pada perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambah ketentuan baru
diantara Pasal 4 dan Pasal 5 yang dijadikan
Pasal 4A dalam BAB III tentang Objek Pajak
dan Kewajiban Pencatatan; juga
b. Pada perubahan kedua yaitu UU PPN No. 18
Tahun 2000, Ketentuan Pasal 4A
diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan
ayat (3); dan
c. Pada perubahan
ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009,
ketentuan Pasal 4A diubah kembali sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Dihapus.
|
(2)
|
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai
berikut:
- barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
- barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
- makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan
dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
- uang, emas batangan, dan surat
berharga.
|
(3)
|
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai
berikut:
- jasa pelayanan kesehatan medik;
- jasa pelayanan sosial;
- jasa pengiriman surat dengan
perangko;
- jasa keuangan;
- jasa asuransi;
- jasa keagamaan;
- jasa pendidikan;
- jasa kesenian dan hiburan;
- jasa penyiaran yang tidak bersifat
iklan;
- jasa angkutan umum di darat dan di
air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
- jasa tenaga kerja;
- jasa perhotelan;
- jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
- Jasa penyediaan tempat parkir;
- Jasa telepon umum dengan menggunakan
uang logam;
- Jasa pengiriman uang dengan wesel
pos; dan
- Jasa boga atau katering
|
|
5
|
(1)
|
Disamping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap :
|
- penyerahan Barang Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Mewah di Daerah
Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
- impor Barang Mewah.
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya
satu kali pada waktu penyerahan oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada
waktu impor.
|
|
Ketentuan
Pasal 5 telah mengalami
perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan
ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009), sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Disamping pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:
- Penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang
tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya; dan
- impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah.
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
|
|
5A
5A
samb...
|
Tidak ada
Tidak ada
|
Pada perubahan pertama yaitu UU PPN No. 11 Tahun 1994, ditambah
ketentuan baru di antara Pasal 5 dan Pasal 6 yang dijadikan
Pasal 5A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan
Kewajiban Pencatatan, yang juga telah mengalami perubahan pada UU PPN No. 42
Tahun 2009 sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang
Kena Pajak tersebut.
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pembatalan tersebut.
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengurangan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
6
|
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat
semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
|
(2)
|
Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan
secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang
atau Jasa yang terhutang pajak, yang tidak terhutang pajak, yang dikenakan
tarif 0% (nol persen), dan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
|
(3)
|
Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan,
sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat
catatan nilai peredaran bruto secara teratur, yang menjadi Dasar Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai itu.
|
|
Ketentuan
Pasal 6 dihapus pada perubahan kedua
UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 18 Tahun 2000 dan tidak berlaku lagi
hingga sekarang.
|
Tidak ada
|
7
7 samb...
|
(1)
|
Tarif Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh
persen).
|
(2)
|
Atas ekspor Barang dikenakan pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
|
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat diubah menjadi
serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas
persen).
|
|
Ketentuan
Pasal 7 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN. No 11
Tahun 1994) hingga perubahan ketiga dimana ayat (2) dan ayat (3) diubah pada
UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
(sepuluh persen).
|
(2)
|
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0%
(nol persen) diterapkan atas:
- ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
- ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; dan
- ekspor Jasa Kena Pajak.
|
(3)
|
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi
15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
8
|
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10%
(sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
|
(2)
|
Atas ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan
tarif 0% (nol persen).
|
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak
sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat diubah menjadi
setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
|
(4)
|
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok
Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
|
(5)
|
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat (4) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
|
Ketentuan
Pasal 8 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama (UU PPN. No 11
Tahun 1994) hingga perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, sehingga
berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling
tinggi 200% (dua ratus persen).
|
(2)
|
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
(3)
|
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
(4)
|
Ketentuan mengenai jenis Barang yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
8A
|
Tidak ada
|
Pada
perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
|
(2)
|
Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
|
9
9 samb...
9 samb...
9 samb...
9 samb...
9 samb...
|
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang
dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalihkan tarif sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa yang sama.
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak
yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan
kelebihan-kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan dengan pajak terhutang
dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat dikembalikan.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan kena pajak juga melakukan
penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian penyerahan kena pajak itu dapat
diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan
yang telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang Kena Pajak
yang diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai untuk
menghasilkan Barang kena Pajak.
(6) Dalam hal bagian penyerahan kena pajak
maupun bagian penyerahan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
tidak dapat diketahui dengan pasti, Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu
pedoman penghitungan jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian penyerahan kena pajak.
(7) Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma
perhitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat mengkreditkan
Pajak Masukan yang telah dibayar tehadap Pajak Keluaran yang harus dipungut,
dengan mempergunakan pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Pajak masukan tidak dapat dikreditkan
menurut cara yang diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
- pembelian Barang atau Jasa sebelum Pengusaha
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak ;
- pembelian Barang dan pengeluaran biaya lain
yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses menghasilkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ;
- pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor
sedan, jeep, stasion wagon, van, dan kombi.
|
Ketentuan Pasal 9 telah mengalami perubahan sejak perubahan pertama
(UU PPN No. 11 Tahun 1994) hingga perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009)
berupa:
a. ayat (1) dihapus.
b. Ayat (2), ayat (2a), ayat 3, ayat (4),
ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah.
c. Diantara ayat (2a) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b)
d. Diantara ayat (4) dan ayat (5)
disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f)
e. Diantara ayat (6) dan ayat (7)
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b)
f. Diantara ayat (7) dan ayat (8)
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b), sehingga Pasal 9
berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Dihapus.
|
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak
dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
|
(2a)
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
|
(2b)
|
Pajak Masukan yang dikreditkan harus
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
|
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
|
(4a)
|
Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir
tahun buku.
|
(4b)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimasud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat
diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
- Pengusaha Kena Pajak dalam tahap
belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
|
(4c)
|
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan
kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a
sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Perubahannya.
|
(4d)
|
Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(4e)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
|
(4f)
|
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Perubahannya.
|
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang
terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan
dengan penyerahan yang terutang pajak.
|
(6)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(6a)
|
Pajak Masukan yang telah dikreditkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib
dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama
3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak Pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
|
(6b)
|
Ketentuan mengenai penentuan waktu,
penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(7)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1
(satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
|
(7a)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha
tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan.
|
(7b)
|
Ketentuan mengenai peredaran usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran
untuk:
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- dihapus;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (6);
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada
waktu dilakukan pemeriksaan; dan
- perolehan Barang Kena Pajak selain
barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak
berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
|
(9)
|
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama,
dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
|
(10)
|
Dihapus.
|
(11)
|
Dihapus.
|
(12)
|
Dihapus.
|
(13)
|
Ketentuan mengenai penghitungan dan tata
cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
(14)
|
Dalam hal terjadi penggalihan Barang Kena
Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang
dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan
dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan,
sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan
Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai
|
|
10
|
(1)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang
dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur
dalam Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar pada waktu perolehan atau Impor Barang Mewah, tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7.
|
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Mewah
dapat meminta kembali pajak yang dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah
yang diekspor itu.
|
|
Mengalami
perubahan hingga perubahan kedua (UU PPN No.
18 Tahun 2000) yaitu ayat (1) dan
ayat (3) diubah, maka hingga sekarang
ketentuan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut F
|
(1) Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau
impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
dipungut berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Pengusaha
Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat
meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada
waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor
tersebut.
|
11
|
(1)
|
Pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pada saat
impor Barang Kena Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak yang terhutang dalam
Masa Pajak terjadi pada saat pembayaran.
|
|
Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994): ditambah dengan ayat (3), ayat (4) dan ayat
(5)
Perubahan kedua (UU PPN No. 18 Tahun 2000) : ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah,
ayat (3) dan ayat (5) dihapus
Perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1) dan
Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
- penyerahan Barang Kena Pajak;
- impor Barang Kena Pajak;
- penyerahan Jasa Kena Pajak;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean;
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean;
- ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
- ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; atau
- ekspor Jasa Kena Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau
dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
|
(3)
|
dihapus.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak
sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.
|
(5)
|
dihapus.”
|
|
12
12
samb...
|
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak, terhutang pajak di tempat tinggal atau kedudukan
mereka dan/atau di tempat usaha dilakukan.
|
(2)
|
Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak
yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang.
|
(3)
|
Dalam hal Impor, pajak terhutang di tempat Barang
Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
|
|
Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) : ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah, dan
ditambah dengan ayat (4)
Perubahan kedua (UU PPN
No. 18 Tahun 2000) : ayat (1) dan ayat
(4) diubah
Perubahan ketiga (UU PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf
c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat
lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Atas pemberitahuan secara tertulis
dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1
(satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
|
(3)
|
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi
di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
|
(4)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha.
|
|
13
13
samb...
|
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur
Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
(2)
|
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat
pembayaran.
|
(3)
|
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha
Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli
Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan
takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
|
(4)
|
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf
b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan
Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
|
(5)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur
Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3).
|
(6)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan
tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut undang-undang ini yang
meliputi :
|
- Nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima
Jasa Kena Pajak;
- Macam, jenis,
kuantum, harga satuan, dan jumlah Harga Jual atau Penggantian;
- Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang dipungut;
- Tanggal
penyerahan.
|
(7)
|
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian
Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda
administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
Perubahan pertama (UU PPN No. 11 Tahun 1994) : ayat (1) sampai dengan ayat (7) diubah, dan
ayat (8) dihapus
Perubahan kedua (UU PPN
No. 18 Tahun 2000) : ayat (1), ayat
(2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah
Perubahan ketiga (UU
PPN No. 42 Tahun 2009) : ayat (1),
ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur
Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
(2)
|
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat
pembayaran.
|
(3)
|
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha
Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli
Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan
takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
|
(4)
|
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf
b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan
Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
|
(5)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur
Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3).
|
(6)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan
tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut undang-undang ini yang
meliputi :
|
- Nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima
Jasa Kena Pajak;
- Macam, jenis,
kuantum, harga satuan, dan jumlah Harga Jual atau Penggantian;
- Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang dipungut;
- Tanggal
penyerahan.
|
(7)
|
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara
penyampaian Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda
administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
14
|
(1)
|
Orang atau Badan yang tidak dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang
atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah
pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak kepada Kas Negara dan dikenakan
sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
|
|
Ketentuan
Pasal 14 hanya mengalami perubahan pada UU No.11 Tahun 1994, sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
(1) Orang pribadi atau badan yang tidak
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat,
maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.
|
15
|
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penghitungan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 kepada Direktorat
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa.
|
(2)
|
Keterangan dan dokumen yang harus dicantumkan
dan/atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa dianggap tidak dimasukkan
jika Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan, atau tidak sepenuhnya
melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
|
|
Ketentuan
Pasal 15 dihapus pada perubahan
pertama UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak
berlaku lagi hingga sekarang
|
Tidak ada
|
15A
|
Tidak ada
|
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009,
diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A
yang berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak.
|
|
16
|
(1)
|
Atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak,
kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4), pengembaliannya dilakukan dalam jangka waktu
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(2)
|
Kelebihan pembayaran pajak atas Barang yang
diekspor dikembalikan dalam jangka waktu satu bulan.
|
|
Ketentuan
Pasal 16 dihapus pada perubahan
pertama UU PPN dengan diterbitkannya UU PPN No. 11 Tahun 1994 dan tidak
berlaku lagi hingga sekarang
|
Tidak ada
|
16A
|
Tidak ada
|
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994,
diantara Pasal 16 dan Pasal 17 ditambahkan ketentuan baru yaitu Pasal 16A
yang telah mengalami perubahan hingga pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga
berbunyi sebagai berikut F
|
(1) Pajak yang
terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan
dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
(2) Tata cara
pemungutan, penyetoran,dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
|
16B
|
Tidak ada
|
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994,
diantara Pasal 16 dan Pasal 17 ditambahkan ketentuan baru yaitu Pasal 16B
yang telah mengalami perubahan hingga pada UU PPN No. 42 Tahun 2009 sehingga
berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pajak terutang tidak dipungut sebagian
atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara
waktu maupun selamanya, untuk:
- kegiatan di kawasan tertentu atau
tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- impor Barang Kena Pajak tertentu;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
(2)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
|
(3)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
|
|
16C
|
Tidak ada
|
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994,
ditambahkan Pasal 16C yang juga telah mengalami perubahan sehingga berbunyi
sebagai berikut F
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan
pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
|
16D
|
Tidak ada
|
Pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994,
ditambahkan Pasal 16D yang telah mengalami perubahan sehingga berbunyi
sebagai berikut F
|
Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
|
16E
16E
samb...
|
Tidak ada
Tidak ada
|
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, diantara Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan
Pasal 16 E yang berbunyi sebagai berikut F
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena
Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor
luar negeri dapat diminta kembali.
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
- Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling
sedikit sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan dapat
disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
- Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah
Pabean; dan
- Faktur Pajak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor
Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor
dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan
kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(3)
|
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor
Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(4)
|
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah adalah :
- Paspor;
- pas naik (boarding pass)
untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ke luar Daerah Pabean; dan
- Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c.
|
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan
penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
16F
|
Tidak ada
|
Pada perubahan ketiga UU PPN No. 42 Tahun 2009, diantara Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan
Pasal 16 F yang berbunyi sebagai berikut F
|
Pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah
dibayar.
|
17
|
Hal-hal yang menyangkut
pengertian, tata cara pemungutan sanksi administrasi dan sanksi pidana
berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini, yang secara khusus belum
diatur dalam undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan
lainnya.
|
Ketentuan
Pasal 17 diubah pada perubahan pertama UU PPN No. 11 Tahun 1994 sehingga
berbunyi sebagai berikut F
|
Hal-hal yang menyangkut
pengertian dan tata cara pemungutan berkenaan dengan pelaksanaan
Undang-Undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-Undang ini,
berlaku ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
|
18
|
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini:
- semua
Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak
yang telah dilakukan sebelum undang-undang ini berlaku, tetap terhutang
pajak menurut Undang-undang Pajak Penjualan 1951;
- selama
peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum dikeluarkan, maka
peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih
berlaku.
(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
Tidak ada
perubahan
|
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini :
- Semua penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum
Undangundang ini berlaku, tetap terutang pajak menurut Undang-undang
Pajak Penjualan 1951;
- Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih
berlaku .
(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
19
|
Hal-hal yang belum diatur
dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Tidak ada
perubahan
|
Hal-hal yang belum diatur
dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
20
|
Undang-undang ini dapat
disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
|
Tidak ada
perubahan
|
Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
|
21
|
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
1 Juli 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
Terdapat
perubahan berupa penghapusan 1 kalimat sehingga berbunyi sebagai berikut F
|
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
|
Komentar
Posting Komentar